OJK Ramal 'Perang' Likuiditas Pemerintah dan Bank Segera Usai

Diterbitkan pada Jumat, 29 March 2019

Jakarta, CNN Indonesia -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai perebutanlikuditas antara pemerintah dan perbankan bakal segera mereda. Perbankan pun dinilai berkesempatan mengisi kembali rongga likuiditas usai didera pengetatan di awal tahun ini.

Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan OJK Yohannes Santoso Wibowo tak memungkiri bahwa perebutan dana antara masyarakat dan pemerintah cukup sengit. Perbankan, menurut dia, butuh memupuk Dana Pihak Ketiga (DPK) mengingat rasio pembiayaan terhadap simpanan (Loan-to-Deposit Ratio/LDR) kian sempit. 

Data OJK menunjukkan, rasio LDR per akhir Februari di angka 93,35 persen atau mengetat dibanding Januari yakni 93,23 persen. Ini lantaran pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya sebesar 6,59 persen secara tahunan (year-on-year),sedangkan pertumbuhan kredit mencapai 12,13 persen. 

Namun, di saat yang bersamaan, pemerintah juga gencar menerbitkan SBN ritel di awal tahun. Apalagi, imbal hasil SBN ritel yang di atas 8 persen cukup menggiurkan, sehingga nasabah mengalihkan simpanannya di bank ke dalam SBN.
 
Dalam dua bulan saja, Kemenkeu tercatat melempar tiga kali penerbitan SBN Ritel yakni Savings Bong Ritel (SBR) 005 sebesar Rp4 triliun, Sukuk Tabungan (ST) 003 sebesar Rp3,13 triliun, dan Sukuk Ritel (SR) 011 sebesar Rp21,11 triliun. Bahkan, Kemenkeu masih akan menerbitkan delapan kali SBN Ritel di tahun ini.

"Bahwa memang sebelumnya ORI ini bunganya cukup menarik deposan dengan kelipatan mulai dari Rp1 juta sehingga bikin kemampuan (likuiditas) bank belakangan agak terbatas," jelas Yohannes, Kamis (28/3).

Tetapi menurutnya, 'perang uang' antara pemerintah dan perbankan bisa selesai sebentar lagi. Terdapat dua faktor penyebabnya. Pertama, adalah imbal hasil (yield) SBN yang kian melandai.

Ia bilang, tren yield SBN mulai menurun pada Februari, di mana yield SBN longsor 26,7 basis poin atau berbalik arah dari Januari yang naik 4,4 basis poin. Jika imbal hasil melandai, maka minat masyarakat di SBN ritel nantinya juga ikut berkurang.
 
"Nanti bisa terlihat trennya. Kami melihat nantinya appetite SBN ritel berkurang. Jeda antara jumlah penawaran SBN yang masuk dengan target indikatif yang ingin dihimpun akan semakin sempit," ujar dia.

Kemudian, faktor kedua adalah penerbitan SBN berjumlah jumbo dilakukan di awal tahun atau biasa disebut front loading. Di tahun ini, pemerintah memang getol cari utang awal tahun. Data Kemenkeu per Februari menunjukkan realisasi penerbitan SBN netto sudah mencapai Rp197,1 triliun atau 50,7 persen dari target APBN 2019 yakni Rp389 triliun.

Jika setengah target SBN sudah tercapai di dua bulan pertama tahun ini, maka sisa setengahnya bisa didapat pada 10 bulan kemudian. Artinya, perbankan bisa bernapas lega. Pemerintah tidak akan agresif di sisa tahun ini, sehingga jumlah DPK yang beralih jadi SBN ritel nantinya bisa lebih rendah dibanding awal tahun.

"Memang strategi front loading ini bagus dilakukan pemerintah, karena kan pemerintah antisipasi kenaikan suku bunga acuan Fed Rate yang dua kali. Jika tarik utang saat suku bunga naik, tentu beban pembayaran utang pemerintah makin mahal," papar dia.
 
Dengan demikian, ia optimistis perbankan bisa ekspansi likuiditas sehingga bisa menyalurkan kredit dengan pertumbuhan mendekati 12 persen sepanjang tahun ini. Apalagi, kondisi ini juga mendukung niat Bank Indonesia (BI) yang ingin mengerek batas Rasio Intermediasi Perbankan (RIM) dari saat ini 80 persen hingga 92 persen menjadi 84 hingga 94 persen mulai 1 Juli mendatang, agar perbankan punya ruang likuiditas lebih.

Sekadar informasi, RIM adalah perluasan dari rasio pinjaman terhadap pendanaan, atau kerap disebut Loan to Funding Ratio (LFR). Jika rasio LFR dihitung dari kredit dibagi pendanaan termasuk surat berharga, maka RIM dihitung dari kredit dan surat berharga yang dibeli dibagi pendanaan ditambah surat berharga.

"Yield SBN semakin rendah, investor juga melihat target front loading pemerintah, maka akan ada ekuilibrium baru bagi kemampuan bank. Kami tidak khawatir, kredit masih bisa tumbuh sesuai target tahun ini," jelas Yohannes. (glh/agi)


Kembali